Senin, 09 April 2018

HUKUM PERJANJIAN


1.      HUBUNGAN PERIKATAN DENGAN PERJANJIAN
Menurut Prof. Subekti, perkataan “perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Perikatan lebih luas dari perjanjian, karena perikatan itu dapat terjadi karena:
1)      Perjanjian
2)      Undang-Undang
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa antara perjanjian dengan perikatan mempunyai hubungan, di mana perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan bagian dari perikatan. Jadi, perjanjian melahirkan perikatan dan perjanjian merupakan sumber terpenting dalam perikatan.

Pengertian Perjanjian
Menurut para sarjana:
1)  Menurut Prof. Subekti, S.H. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.
2) Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda dua pihak, di mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan seuatu hal.
3) Menurut Abdulkadir Muhammad, S.H. Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
4)   Sedangkan menurut KUHPer Pasal 1313, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

2.      ASAS-ASAS PERJANJIAN
1)  Sistem terbuka. Asas ini mempunyai arti bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas dalam menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga asa kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPer).
2) Bersifat pelengkap. Artinya pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang mebuat perjanjian itu menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari undang-undang.
3)  Konsensualisme. Artinya bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan syarat syahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPer).
4)  Kepribadian. Mempunyai arti bahwa, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Menurut Pasal 1315 KUHPer, pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. 

3.      SYARAT-SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1)  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu.
2) Kecakapan untuk membuat perjanjian itu. Pada dasarnya, setiap orang yang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap (Pasal 1329 KUHPer).
3)      Adanya suatu hal tertentu. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas dan dapat ditentukan
4)      Adanya suatu sebab yang halal.

Menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang (lihat Pasal 1337 KUHPer).

4.      JENIS-JENIS PERJANJIAN
1)      Perjanjian timbal-balik (hak dan kewajiban)
2)      Perjanjian sepihak (menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja)
3)      Perjanjian cuma-cuma (menimbulkan keuntungan pihak lain)
4)      Perjanjian atas beban (kedua prestasi ada hubungan hukum)
5)      Perjanjian konsensuil (kesepakatan antar 2 pihak)
6)      Perjanjian riil (kesepakatan disertai penyerahan nyata barangnya)
7)      Perjanjian bernama (diatur UU) dan tak bernama (tak diatur UU)


5.      WANPRESTASI
Dalam hukum perikatan dikenal adanya prestasi, yaitu yang dimaksud dengan prestasi ialah kewajiban yang harus dipenuhi tiap-tiap pihak sesuai dengan isi perjanjian dan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Wanprestasi berarti kelalaian tidak menepati kewajibannya dalma perjanjian. Akibat yang ditimbulkan dari wanprestasi ini bisa menimbulkan kerugian pada kreditur. Maka akan ada sanksi bagi debitur antara lain ada 4 sanksi, yaitu:
1)      Debitur harus mengganti kerugian yang diderita kreditur
2)      Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian
3)      Peralihan resiko pada debitur sejak terjadinya wanprestasi
4)      Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim.

REFERENSI
1. SUBEKTI, R.,  Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXXI, 2003.
2. SOFWAN, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, Cet. IV, 1981
3. MERTOKUSUMO, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, Cet. III, 2007.
4. VOLLMAR, H.F.A., Pengantar Studi Hukum Perdata (Terjemahan: I.S. Adiwi-Marta), Jakarta: Rajawali Pers, Cet. III, 1992
5. SIMANJUNTAK, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat bermanfaat untuk saya. Terima Kasih