1.
HUBUNGAN PERIKATAN DENGAN PERJANJIAN
Menurut Prof.
Subekti, perkataan “perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan
“perjanjian”. Perikatan lebih luas dari perjanjian, karena perikatan itu dapat
terjadi karena:
1) Perjanjian
2)
Undang-Undang
Dengan demikian
dapat disimpulkan, bahwa antara perjanjian dengan perikatan mempunyai hubungan,
di mana perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan bagian dari
perikatan. Jadi, perjanjian melahirkan perikatan dan perjanjian merupakan
sumber terpenting dalam perikatan.
Pengertian Perjanjian
Menurut para sarjana:
1) Menurut Prof. Subekti,
S.H. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melakukan suatu hal.
2) Menurut Prof. Dr. R.
Wirjono Prodjodikoro, S.H. Perjanjian adalah
suatu perhubungan hukum mengenai harta benda dua pihak, di mana suatu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak
melakukan seuatu hal.
3) Menurut Abdulkadir
Muhammad, S.H. Perjanjian adalah
suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
4) Sedangkan
menurut KUHPer Pasal 1313, perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih.
2.
ASAS-ASAS PERJANJIAN
1) Sistem terbuka. Asas ini mempunyai arti bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas
dalam menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga asa kebebasan
berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPer).
2) Bersifat pelengkap. Artinya pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan, apabila
pihak-pihak yang mebuat perjanjian itu menghendaki dan membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari undang-undang.
3) Konsensualisme. Artinya bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan
antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan syarat syahnya perjanjian (Pasal
1320 KUHPer).
4) Kepribadian. Mempunyai arti bahwa, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak
yang membuatnya. Menurut Pasal 1315 KUHPer, pada umumnya tak seorangpun dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan
untuk dirinya sendiri.
3.
SYARAT-SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1) Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya. Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang hendak
mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu.
2) Kecakapan untuk
membuat perjanjian itu. Pada dasarnya, setiap orang yang cakap untuk membuat
perjanjian, kecuali jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap (Pasal
1329 KUHPer).
3)
Adanya suatu hal
tertentu. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas dan dapat ditentukan
4)
Adanya suatu sebab
yang halal.
Menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan undang-undang (lihat Pasal 1337 KUHPer).
4.
JENIS-JENIS PERJANJIAN
1)
Perjanjian timbal-balik
(hak dan kewajiban)
2)
Perjanjian sepihak
(menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja)
3)
Perjanjian cuma-cuma
(menimbulkan keuntungan pihak lain)
4)
Perjanjian atas beban
(kedua prestasi ada hubungan hukum)
5)
Perjanjian konsensuil
(kesepakatan antar 2 pihak)
6)
Perjanjian riil
(kesepakatan disertai penyerahan nyata barangnya)
7)
Perjanjian bernama
(diatur UU) dan tak bernama (tak diatur UU)
5.
WANPRESTASI
Dalam hukum
perikatan dikenal adanya prestasi, yaitu yang dimaksud dengan prestasi ialah
kewajiban yang harus dipenuhi tiap-tiap pihak sesuai dengan isi perjanjian dan
berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Wanprestasi
berarti kelalaian tidak menepati kewajibannya dalma perjanjian. Akibat yang
ditimbulkan dari wanprestasi ini bisa menimbulkan kerugian pada kreditur. Maka
akan ada sanksi bagi debitur antara lain ada 4 sanksi, yaitu:
1)
Debitur harus
mengganti kerugian yang diderita kreditur
2)
Pembatalan perjanjian
disertai dengan pembayaran ganti kerugian
3)
Peralihan resiko pada
debitur sejak terjadinya wanprestasi
4)
Pembayaran biaya
perkara apabila diperkarakan di muka hakim.
REFERENSI
1. SUBEKTI, R.,
Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXXI, 2003.
2. SOFWAN, Sri Soedewi
Masjchoen, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, Cet. IV, 1981
3. MERTOKUSUMO, Sudikno,
Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, Cet. III, 2007.
4. VOLLMAR, H.F.A.,
Pengantar Studi Hukum Perdata (Terjemahan: I.S. Adiwi-Marta), Jakarta: Rajawali
Pers, Cet. III, 1992
5. SIMANJUNTAK, P.N.H.,
Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar anda sangat bermanfaat untuk saya. Terima Kasih